Prita Widya Putri |
Sepertinya ini juga yang dialami oleh Prita Widya Putri pemilik Nefertiti Shop dan pejuang di bisnis fashion. Sejak kecil Prita sangat menyukai segala hal yang berbau seni. Ketika masih berstatus sebagai siswa, dia selalu mencari ekstrakulikuler yang bisa mendekatkan dirinya dengan seni yaitu desain. Saya tidak pernah kepikiran ikut Paskibra atau kelompok pecinta alam. Tapi kalau soal desain, jangan ditanya! Saat lulus SMA, saya diterima di Universitas Indonesia untuk jurusan, psikologi dan seni rupa di Institut Teknologi Bandung(ITB)”. Mengapa ia justru memilih Psikologi berikut ini alasannya, “Karena psikologi itu seperti seni mempelajari kebiasaan manusia. Menguasai ilmu ini saya pikir akan membawa banyak manfaat nantinya,” jelasnya.
Ternyata pilihan Prita tepat sekali. Psikologi mmebuatnya mengerti bagaimana harus berhadapan dengan orang lain serta menunjang sekali dalam proses perbisnisannya kelak. Walau untuk bisa lulus dari psikologi Prita harus berjuang ekstra keras. Banyak ilmu psikologi yang bisa diterapkan Prita dalam berbisnis seperti memahami consumer behaviour, cara menetapkan branding, menentukan harga, dan lain sebagainya.
Ketika kuliah, Prita masih tetap memelihara kesenangannya dengan desain. Ini terbukti dialah yang mendesain baju angkatan dan organisasi kampus. Tekadnya semakin menjadi untuk bisa berkarir di dunia fashion ketika banyak yang memuji rancangannya bagus.
Setelah lulus Prita diterima bekerja di sebuah bank besar. Saat itu Prita hampir saja melupakan impiannya tentang desain dan fashion. Hari-harinya diisi dengan rutinitas pekerjaan kantor hingga suatu hari Prita bertemu lagi dengan sahbatnya sewaktu kuliah dulu yang juga partnernya dalam menangani proyek fashionnya dulu.
Mereka terlibat obrolan tentang manisnya berkarir didunia fashion yang dulu sewaktu kuliah sempat digelutinya. Prita pun seperti disadarkan lagi dan diingatkan bahwa impiannya adalah berbisnis fashion bukan sebagai karyawan.
“Saya terus membayangkan ingin punya label sendiri, harus ini, harus itu dan akhirnya tak bisa tidur berhari-hari. Saya mulai membaca banyak buku fashion, observasi di lapangan dan belajar banyak dari melihat dan membaca, sampai akhirnya saya merasa, ya, saya siap!” jelas Prita.
Prita-pun kemudian banyak membaca buku tentang desain dan fashion seperti karya Toby Meadows, How to Create and Run a Fashion Label, tayangan All on The Line yang digawangi Joe Zee, fashion editor majalah Elle. serta kursus menjahit, kursus fashion figure drawing, dan kursus membuat pola di Lasalle College, Jakarta.
Sebenarnya ada sedikit keraguan yang menghinggapinya. Seperti ketika ia memohon resign dari perusahaannya, sang bos malah mengiming-iminginya dengan promosi jabatan yang lebih empuk. “Saat itu baru timbul rasa takut. Iya juga ya, siapa yang jamin bisnis ini berhasil atau tidak. Sementara, di depan mata ada dua pilihan promosi menarik. Tapi rasa takut itu akhirnya hanya bisa dikalahkan dengan keinginan yang kuat,” ujarnya.
Mulai Merintis Bisnis
Ketika Prita telah mengundurkan diri dari pekerjaannya. Segera ia meniti karir dalam bidang wirausaha. Sebenarnya keluarga Prita adalah keluarga yang cukup kaya raya namun Prita tak mau jika ia tidak mengumpulkan sendiri uang dari keringatnya sendiri. Prita pun mulai terjun ke dunia fashion dengan membuat kalung, “Saya mulai dari hal yang kecil seperti membuat kalung. Selain biayanya tidak sebanyak membuat pakaian, juga sambil memberi waktu bagi diri sendiri untuk belajar banyak mengenai bisnis fashion. Dan, saya pilih online marketing agar pembeli bisa belanja 24 jam sehari,” katanya.
Meniti karir menjadi seorang entrepreneur tak semudah yang dibayangkan Prita. Tantangan dan kendala datang dari berbagai pihak seperti rekan bisnis, karyawan dan keluarga besarnya.
Ketika sedang giat-giatnya merintis, tahu-tahu sahabat terdekatnya yang menjadi partnernya memutuskan untuk mundur dari medan peperangan. Walhasil Prita harus menjalankan semuanya sendiri.
Prita mulai berjuang sendirian, tanpa rekan disampingnya. Seperti saat menemukan vendor penjahit, Prita membutuhkan waktu 6 bulan untuk bisa menemukan vendor penjahit yang sreg dengan dirinya. Rasa capek tentu saja menjadi langganan setianya. “Ternyata, jadi wirausaha tidak kalah capek dengan bekerja di kantor. Tukang pijit yang awalnya langganan Papa, jadi langganan saya juga. Dia selalu bilang, ‘Mbak, betisnya kenceng amat kayak pemain bola,’” ujarnya, tertawa.
Ketika Prita menemukan karyawan yang menurutnya bisa dipercaya, eh.. justru dibelakangnya “menilep” uang perusahaan dengan jumlah hingga jutaan. Prita pun akhirnya harus memberhentikannya.
Permasalahan lain pun muncul lagi, seperti menjaga kualitas produk agar bisa stabil. Untuk hal yang satu ini ilmu psikologi Prita sepertinya sangat diperlukan. Ketika para perajinnya sedang mengalami mood buruk biasanya ketika putus cinta ataupun ada masalah lain maka sudah dipastikan hasil pengerjaannya juga menurun. Ketika itulah Prita mmeposisikan dirinya sebagai teman curhat dan mereka bisa mengeluarkan uneg-unegnya sehingga bisa plong. Prita pun bisa memberi solusi mental yang akhirnya membuat tim kreatifnya bisa berkarya maksimal lagi. Saya sudah hafal, deh. Biasanya hal itu terjadi kalau ada yang sedang putus cinta atau apalah, makanya kepada mereka, saya menempatkan diri sebagai teman curhat, bukan bos,” Ungkap Prita.
Saat ini Prita telah mempekerjakan 22 karyawan dimana 2 sebagai karyawan tetap dan 20 lainnya sebagai freelancer.
Selain tantangan yang bersifat teknis dalam berbisnis, tantangan yang bersifat eksternal atau tak ada hubungannya dengan bisnis pun kerap menghampirinya. Seperti tantangan dari keluarga besarnya yang mengatai dirinya “Tukang Kalung”. “Biarkan saja mereka nyinyir. Saya pikir, perusahaan sebesar Mustika Ratu awalnya juga dari berjualan jamu. Seorang pebisnis memang harus melihat hal yang tak bisa terlihat oleh orang lain. Saya pun tak keberatan lagi disebut tukang kalung. Justru bangga, saya bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain,” jelasnya, bijak.
Selangkah demi selangkah bisnisnya mulai menunjukkan perkembangan yang berarti. Awalnya hanya kalung dan aksesoris kini ia melangkah ke dunia pakaian. Produknya diproduksi di Jakarta dan Bandung dengan label “Nefertiti”. Label yang ia pilih yaitu “Nefertiti” adalah nama dari Ratu Mesir Kuno yang memiliki selera fashion, kecantikan dan kecerdasan yang tinggi. Prita sangat mengagumi sosoknya sehingga ia ingin semangat Nefertiti juga berimbas di bisnisnya.
Pada tahun 2011 Prita meluncurkan webstore pribadinya. Selain itu Prita juga bekerja sama dengan webstore lainnya. Penyuka Nefertiti dari facebook telah menembus angka 10.000 like sedangkan untuk twitter telah di follow 2000 orang lebih.
Selain pemasaran online, Prita juga memasarkan produknya melalui departemen store. Debenhams Senayan City dan Debenhams Kemang adalah dua departemen store yang berhasil ditembusnya. Produknya juga pernah dipesan oleh orang di luar negeri seperti Finlandia, Norwegia, Kepulauan Solomon, Republik Malta, Israel, Italia, Australia, Amerika, dan Inggris. Dalam sebulan, omset yang diraih Prita bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sungguh angka yang fantastis bagi seorang Prita Widyaputri yang masih muda dan baru di bisnis fashion.
Walau kerja kerasnya telah dapat dinikmati, namun impian Prita masih banyak. “Saya ingin sekali terlibat dalam komunitas fashion Indonesia, seperti Jakarta Fashion Week, Indonesia Fashion Week, dan Brightspot. Saya juga ingin mulai merambah peluang retail di luar negeri untuk membuktikan label ready to wear karya orang Indonesia bisa diterima di mancanegara,” ujarnya, bersemangat.
Yuk Baca Juga Biografi Yang Buagus Sekali Dibawah Ini :
0 komentar:
Posting Komentar